Selasa, 06 April 2010

PERAWAN MENGANDUNG (Peraih juara peran wanita pembantu terbaik dan nominasi arktis terbaik dlm festival teater di Taman Budaya Pontianak 2009

PERAWAN MENGANDUNG
Sutradara & Penulis Skenario Oleh Dian Tri Lestari

Sinopsis :
Secara konkret, naskah ini menceritakan tiga orang bersahabat di sebuah rumah kontrakan. Seorang di antara mereka mendadak hamil. Ketiganya bingung dengan kehamilan tersebut. Maka mereka mencari-cari siapa sebenarnya ayah dari bayi tersebut. Perawan mengandung tersebut berniat untuk membunuh dirinya sendiri agar ia tidak menanggung aib karena sampai menjelang kelahiran anaknya pun, tak diketahui siapa suaminya. Namun kisah ini sesungguhnya merupakan lambang dari ibu pertiwi yang entah kapan mengandung kesalahan. Kesalahan itu dapat dilakukan oleh siapa dan dengan cara bagaimana saja. Tetapi yang kita lakukan selama ini bukanlah menyiasati kesalahan itu agar berbuah kemuliaan, melainkan terus saja mencari-cari siapa yang menciptakan kesalahan tersebut. Seandainya saja sumber tersebut dapat ditemukan, bukan berarti ibu pertiwi mendadak tak hamil lagi.

Pemain:
1. Pemain 1 : Dian Tri Lestari
2. Pemain 2 : Endang Kurniawati
3. Pemain 3 : Senja Rizky Muktitama

Setting : Suasana di dalam ruang di sebuah tempat kos atau kontrakan.
Panggung menunjukkan suasana sepi dan sedikit cahaya. Sebelah kanan panggung, terletak tikar (karpet). Sebelah kiri belakang panggung terdapat satu meja dan kursi kosong.

01. Pemain 2
(Masuk membawa kertas, penggaris, pensil, kaca mata, majalah, dan secangkir teh, kemudian duduk di kursi dan meletakkan semua barang bawaan ke atas meja. Ia meminum teh sambil mempersiapkan rencana)

02. Pemain 1
(Masuk menuju ke kanan –panggung. Mondar-mandir berlajan sambil mengusap-usap perut)
“Kau tahu berapa lama lagi kira-kira bayiku ini akan lahir?”

03. Pemain 2
“Kurasa sebentar lagi. Kira-kira kau mau boks yang memakai tutup atau yang bisa goyang-goyang?”

04. Pemain 1
“Terserah kau lah. Yang penting bayiku aman dan terlihat lucu di tempat itu.”

05. Pemain 2
(Sibuk membuat rancangan boks bayi)

06. Pemain 1
“Apa yang kau lakukan ?”

07. Pemain 2
“Membuat kotak bayimu. Aku harus mengukur dengan benar.”

08. Pemain 3
(Masuk membawa pisau dan apel. Dia duduk dan memakan buah)
“Bagaimana kondisi bayimu?”
09. Pemain 2
“Baik. Semakin lama dia semakin lincah. Aku yakin dia akan jadi bayi yang sehat nanti seperti bapaknya.”

10. Pemain 3
“Memangnya kau tahu siapa bapaknya ?”

11. Pemain 1
(Senang) “Tentu saja. Dia pasti seorang laki-laki gagah, berwajah tampan, bersifat seperti batara wisnu, dan bersikap seperti ksatria. Ya kan ?”

12. Pemain 2
“Tentu. Ia pasti memiliki wibawa seperti raja-raja. Suka menolong dan tidak gila kekuasaan.”

13. Pemain 3
“Kalian mengatakan itu seperti tidak pernah terjadi saja.”

14. Pemain 1
“Dia itu titisan dewa. Betul kan ?”

15. Pemain 2
“Betul! Sri Rama.”

16. Pemain 1
“Dan aku... jelas, Dewi Sinta. Putri sepertiku ini merasa aman bersama seorang Sri Rama meski di tangah hutan belantara. Kami nikmati ilalang tinggi menjulang sebagai tirai sutera. Kami nikmati buah-buah liar sebagai buah surga. Kami nikmati tidur di lindungan akar pohon sebagai di dalam awan berpualam.”

17. Pemain 2
(Berdiri dan mendekat pada pemain 1 yang datang padanya.)

18. Pemain 1
“Maka malam itu kami nikmati bulan dicumbu hutan.”
(Berpegangan tangan dengan pemain 2)
“Wahai kandaku Sri Rama...jangankan di hutan belantara, di neraka sekalipun tak kan kuminta pindah ke surga.

19. Pemain 3
“Lalu datang Rahwana membawa kabur Dewi Shinta. Dibawa terbang sambil menyentuh bagian-bagian tubuh Dewi Shinta.”

20. Pemain 2
“Hai Raksasa Laknat! Jangan bawa kabur Dewi Shinta! Turun kau sekarang! Jatayu, raja para burung, tolong bawa Dewi Shinta!”

21. Pemain 3
“Jatayu berperang dengan Rahwana. Tapi Jatayu pun kalah. Ia jatuh ke bumi. Dewi Shinta dibawa pergi.”

22. Pemain 2
“Kau tak mau dengar ancamanku, Rahwana ?! Akan kupanah jantungmu!”
(Memanah...terkena Rahwana.)

23. Pemain 2 & Pemain 3
“Mampus kau, Rahwana!”

24. Pemain 1
(Meringis sakit)
“Aduhai Sri Rama, panahmu mengenaiku. Lupakah kau kalau aku di gendongan Rahwana?”

25. Pemain 3
“H
(Tertawa)
“Suamimu membunuhmu, Kawan!”

26. Pemain 2
“Bukan dia...jelas bukan dia suamimu. Tak ada Sri Rama di dunia nyata. Yang ada hanya seorang bercelana pendek, berikat kepala merah putih. ia pegang tombak panjang. Lalu ia merayap setiap melewati garda musuh.
(Merayap ke kanan panggung)

27. Pemain 1
(Pindah posisi ke arah kiri panggung)
“Suamiku menyerang, Kawan! Menyerang dengan penuh semangat. Ia rebut kekuasaan penjajah. Ia teriakkan...serang, Kawan-kawan! Kita hanguskan penjajahan di muka bumi!”

28. Pemain 2
“Enyah kau, Bule...!!!”

29. Pemain 3
(menembak)

30. Pemain 2
(Jatuh)

31. Pemain 3
“Maka matilah pejuang bercelana pendek, berikat kepala merah-putih, dan tak tahu memakai senjata!”

32. Pemain 1
“Kau apakan dia?”
(Membantu Pemain 2 untuk bangun)

33. Pemain 3
“Aku tidak melakukan apa-apa. Kalian itu cuma berkhayal. Cuma menghibur diri.”

34. Pemain 1
“Lalu aku tak punya suami? Tak mungkin ada bayi tanpa suami.”

35. Pemain 2
“Tenang, masih ada satu kemungkinan.”

36. Pemain 1
“Aku harap kemungkinan itu benar. Aku tak mau suamiku hidup di zaman dulu. Aku hidup di zaman sekarang, jelas suamiku juga hidup di zaman sekarang.”

37. Pemain 3
“Maka janganlah kau berharap suamimu setampan Rama atau seberani pelawan penjajah.”

38. Pemain 2
“Mungkin ia berpenampilan sederhana seperti kita. Berkaos oblong dengan megaphone di bahu.”

39. Pemain 1
“Ia tegak berdiri di atas gedung, di muka istana, di tengah-tengah podium. Lantang suaranya berteriak ... keadilan di muka bumi harus ditegakkan. Wahai... penguasa berkerah merah. Dengarlah jerit tangis anak-anak putus sekolah. Dengar denting periuk nasi ibu kami yang kosong. Dengar perih ayah kami melolong karena di-PHK. Dengar parau suara anak muda berpeluh-peluh menghamba ijazah tak berguna!”
Tak adakah keadilan untuk kami?”

40. Pemain 3
“Maka setelah itu tak terdengar suaranya. Ia bungkam. Dibungkam, dipenjara, dienyahkan dengan cara-cara sopan oleh orang-orang yang tersinggung. Oleh penguasa berkerah merag. Hilang lagi suamimu!”

41. Pemain 1
“Eh, kau tak suka seperti ini kenapa? Apa masalahmu? Dari tadi kau saja yang membuat semua suamiku tak ada.”

42. Pemain 3
“Karena mereka memang bukan suamimu!”

43. Pemain 2
Janganlah kau menyinggung hati kawanmu itu! Nanti dia stres, bahaya buat kandungannya. Apa salahnya kalau kita mencari siapa biang kerok isi perut teman kita ini ?”

44. Pemain 3
“Tapi tidak dengan mencari-cari.”

45. Pemain 2
“Memangnya kau tahu siapa suaminya?”

46. Pemain 3
“Bisa saja suaminya mati diinjak-injak waktu naik haji. Atau diinjak-injak waktu melarikan hasil jarahan toko besar yang dibakar para demonstran. Atau suamimu adalah anak Pak Selamat, orang rumah sebelah yang seminggu lalu menggoda anak perawan kampung sebelah.”

47. Pemain 1
“Tidak! Aku tidak mau dengan dia. Kau memang iri denganku.”

48. Pemain 3
“Aku tidak iri, Kawan! Kau harus sadar. Kau tak punya suami.”

49. Pemain 1
(Mengambil pisau dan mengancam R) “Kubunuh Kau! Aku tak suka kau menghancurkan khayalanku!”

50. Pemain 2
(Menarik Pemain 3 untuk menjauh dari Pemain 1)
“Sabar, Kawan! Dia benar, kita harus berpikir logis bahwa bayimu ada tanpa kita tahu sebabnya.”

51. Pemain 1
(Menuju ke kursi dan bersedih)
“Jadi maksud kalian, bayiku ini adalah kesalahan ? Tak mungkin aku tak punya suami. Tak mungkin bayiku ini ada begitu saja.”
52. Pemain 2
“Mungkin kau seperti perawan Maryam yang mengandung Nabi Isa, bisa saja kan ?”

53. Pemain 3
“Tentu saja tidak bisa! Bayi itu kesalahan. Bukan kemuliaan seperti yang dititipkan Rohul Kudus.”

54. Pemain 1
“Jadi suamiku siapa ?”

55. Pemain 3
“Kau masih perawan. Kawan. Kau perawan yang bisa mengandung. Kau sama seperti keadaan di bumi saat ini. Kau bumi pertiwi yang selalu perawan, Kawan.”

56. Pemain 1
“Jadi suamiku siapa ?”

57. Pemain 3
“Selama ini kita selalu mencari-cari siapa suamimu. Siapa yang membuat kesalahan sebesar itu. Kau harus sadar, kau perawan mengandung. Mengandung kesalahan!”

58. Pemain 1
“Jadi tak jelas siapa suamiku...”
“Baiklah, aku mati saja! Lebih baik kubunuh bayi yang kau sebut kesalahan ini!”

59. Pemain 2
“Kau jangan bodoh, Kawan! Bukannya kau selau ingin menunggu anakmu itu lahir ?”

60. Pemain 1
“Ya, jika ia bukan sebuah kesalahan.”

61. Pemain 3
“Maafkan aku kalau kata-kataku mempengaruhi pikiranmu. Aku hanya ingin kita tidak berkhayal dan mencari-cari kesalahan. Itu saja.”

62. Pemain 1
“Lebih baik aku mati saja daripada melahirkan kesalahan.”

63. Pemain 2
“Jangan, kumohon jangan. Akan kubuatkan boks bayi gratis untukmu. Tapi jangan mati ya...”

64. Pemain 1
“Tidak! Tak payahlah kau buat boks bayi untukku. Aku mau mati saja!”

65. Pemain 2
“Tuh kan, ini gara-gara kau sih...”

66. Pemain 3
“Lho kok gara-gara aku ? Aku kan gak tahu jadinya begini. Seperti sebuah kesalahan, kita tidak tahu ternyata perkataan atau perbuatan kita akan menjadi kesalahan suatu saat nanti. Bahkan kesalahan sebesar itu!”


67. Pemain 2
“Seharusnya kau diam saja tadi.”

68. Pemain 1
“Aku mati nih...aku mati nih...”

69. Pemain 3
“Eh, jangan! Kami mohon jangan...”

70. Pemain 1
“Kusudahi saja kesalahan yang kukandung agar tak tumbuh lebih besar !”

71. Pemain 3
“Dengarkan aku, kau memang mengandung kesalahan. Tapi kau tak bisa menutupi atau melenyapkan kesalahan itu. Tapi cobalah untuk menyiasati kesalahan itu menjadi kemuliaan. Kau percaya kan pada hikmah ? Tak ada sejarahnya ibu pertiwi bunuh diri!”

72. Pemain 1
“Aduh...perutku... (kesakitan dan turun dari meja)
“Tolong aku, sudah saatnya nih....aduh, Tuhan...”

73. Pemain 2
(Membantu pemain 1 berdiri)
“Sudah mau melahirkan ?”

74. Pemain 1
“Iya.”

75. Pemain 2 & Pemain 3
(Membawa pemain 1 pergi)




S E L E S A I











SEPTEMBER 2009
SANGGAR KIPRAH

Label:

10 KRITERIA MENJADI GURU HEBAT SEPANJANG MASA

Beberapa waktu lalu saya pernah berselisih paham dengan salah seorang sahabat saya. Ia menanyakan strategi pembelajaran apa yang dianggap paling tepat untuk materi yang lebih mementingkan unsur berbicara. Ia sebenarnya tidak sepenuhnya bertanya, melainkan hanya sekadar memastikan sekaligus menguji kemapuan saya. Saya menjawab dengan pernyataan tertentu yang membuatya tidak sepaham. Tetapi bukan itu letak permasalahnnya. Tetapi adalah paradigma kami yang berbeda secara praktik mengenai guru yang benar.
Ia lebih mempertimbangkan mengenai kelegkapan perangkat mengajar. Itu sebabnya ia menyampaikan pernyataan bahwa ketika praktik mengajar sewaktu kuliah dan menjadi guru di sekolahnya, ia diajarkan untuk membuat perangkat pembelajaran yang lengkap. Mungkin saya salah paham sebab yang saya rasakan ada dampak tersinggung sebab ia menunjukkan bahwa ia mengajar di sekolah yang dianggap berada di urutan sekolah swasta terbaik. Saya juga ingat bahwa saya hanya mengajar di sekolah yang bahkan sebagian besar orang tidak mengatahui bahwa sekolah ini ada. Hal ini ia membuat dia mengingatkan bahwa di sekolahnya diajarkan untuk menjadi guru secara teoritis.
Maka kemudian, saya mendengar keluhan yang saya ketahui dari anak salah seorang guru, rekan kerja sahabat saya itu. Ia mengatakan kalau evaluasi sahabat saya terhyadap siswa-siswanya tidak valid. Sebab, nilai yang dilaporkan sebagian besar dengan nilai tinggi, sedangkan setelah dievaluasi ulang oleh guru lain, nilai tinggi tersebut dirasa tidak patut dberikan pada siswa yang bersangkutan. Saya juga pernah melihat contoh-contoh soal yang selalu ia berikan waktu mengevaluasi kemampuan siwa. Jelas secara praktik, ia tidak menerapkan perangkat mengajar dengan mengkombinasikan semua kriteria keterampilan berbahasa seperti yang ia katakan. Sistem yang ia buat masih sistem kurikulum lama yang tidak bisa dipakai sepenuhnya untuk pendidikan sekarang ini.
Hal ini membuat saya kemudian berpikir, apakah kelengkapan perangkat pembelajaran menjadi efektif bagi keberhasilan pengajaran?
Kasus lain terjadi pada seorang teman saya yang mendapatkan akreditasi A karena ia selalu menggunakan multimedia kepada siswa. Pengawas lantas memberikan nilai tertinggi dibandingkan guru-guru lainnya bahkan menyisihkan perhatian pada perangkat pembelajaran. Sebagian lagi mengatakan terang-terangan membuat perangkat pembelajaran seperti RPP, evaluasi penilaian, pengayaan, dan surat-menyurat lainnya hanya sebagai pelengkap agar mereka terbebas dari kritikan pengawas dinas pendidikian.
Tuntutan pemerintah yanga mewajibkan setiap guru membuat rancangan adalah langkah tepat sehingga guru memiliki rencana terarah dalam menyampaikan materi. Hanya saja, rencana ini terkadang tidak bisa direalisasikan dengan baik. Kadang tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun, kadang sebagian dilakukan pengubahan strategi, bahkan tidak dipakai sama sekali.
Hal tersebut saya pikir tidak akan bermasalah selagi guru yang bersangkutan tidak mengabaikan respon yang didapat oleh siswa. Lengkap dan tepatnya perangkat mengajar tidak akan berhasil jika tidak diikuti dengan keterampilan mengelola kelas dan siswa; menguasai materi; dan mendidik atau memberi semangat.
Kemudian, banyak kawan-kawan saya ditugaskan sebagai pegawai pemerintah untuk mengajar di daerah pedalaman atau desa-desa terpencil. Mereka saya anggap sebagai guru yang handal (bagi guru yang menjalankannya dengan ikhlas dan senang), sebab tidak mudah menjalani kehidupan bertahun-tahun sambil mengajar siswa yang sulit menerima materi dengan muudah seperti rata-rata anak di daerah perkotaan. Tak sedikit kawan-kawan saya mengeuh proses pembelajaran tertahan, materi tidak selesai karena siswa tidak begitu mampu menyerap ilmu dengan cepat. Tambahan lagi, tidaak disertakan dengan fasilitas mengajar dan pribadi yang minim.
Meski nilai akhir siswa-siswa dari desa terpencil yang dianggap memiliki daya tangkap yang kurang, juga tidak menunjukkan hasil yang maksimal; guru-guru yang mengajar mereka tetap saya anggap sebagai guru teladan. Predikat itu tentu tidak bisa diberikan kepada semua guru begitu saja, sebab beberapa sekolah, banyak ditinggalkan gurunya sehingga ketika siswa masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, masih belum bisa membaca dan bberhitung dengan lancar.
Demikian pula dengan guru yang menurut saya mampu menyalurkan semangat besar bagi siswanya. Ia tidak menganggap dirinya paling tahu dari siswa-siswa. Ia juga dengan senang hati dan sekuat tenaga menyalurkan semangat juang bagi siswanya. Ia juga tanpa lelah berupaya untuk mengubah cara pandang siswa untuk menjadi lebih baik dan mendapatkan cita-cita dengan gigih. Bagi saya, guru tak hanya menyampaikan materi (mengajar), menjadi teladan (mendidik), tapi juga menyalurkan semangat.
Jadi, seharusnya kita tidak mengagap bahwa guru-guru yang mengajar di sekolah besar yang sudah mengajar anak-anak berbakat, dengan perangkat mengajar lengkap, dan fasilitas memadai adalah guru teladan. Tapi coba kita pertimbangkan bagi guru yang bertugas di tempat atau sekolah yang dikategorikan sebagai sekolah kurang “besar”, tapi mampu melakukan perubahan (meski kecil), mampu membuat kenangan besar bagi siswa, mampu menjadi tokoh idola, mampu membuat belajar menjadi lebih menyenangkan dari sebelumnya, dan mampu mengubah pola pikir keliru menjadi lebih baik.
Hal lain lagi yang sering saya jumpai adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru kepada siswanya. Tak jarang guru bahkan kepala sekolah menggunakan kekerasan fisik dan mental terhadap siswa. Beberapa kali saya mencoba untuk bertanya sekaligus mengambil kesimpulan dari hasil obrolan dengan rekan-rekan guru. Mereka seolah-olah berkeyakinan bahwa guru yang hebat adalah guru yang galak. Mereka asosiasikan dengan memukul dan melemparkan kata-kata kasar atau jorok kepada siswa. Mungkin yang mereka maksudkan adalah ketegasan. Hanya saja banyak orang tidak paham makna tegas itu seperti apa. Tegas jauh dari kasar. Tegas tidak diwujudkan dengan memukul, membentak, menyindir, dan mengumpat. Tegas justru tindakan halus dan berwibawa.
Saya sering mendengar pernyataan rekan guru yang menyampaikan bahwa si anu atau si itu adalah guru galak dengan nada seperti memuji. Seolah-olah hanya guru galak lah yang mamppu mengatasi siswa. Mereka yang memang berupaya untuk sabar kemudian menyerah sehingga mengatakan pada kami bahwa, “Siswa-siswa ini tidak bisa pakai lembut lagi, musti dikeraskan.” Keras yang mereka maksudkan lebih menjurus ke aksi membentak bahkan bisa jadi memukul.
Bagi saya, sesulit apapun mengatasi siswa, hindari tindakan kekerasan fisik dan mental. Jika memang sudah tidak tahan dengan tingkah anak, lebih baik memilih untuk diam, keluar dari kelas, atau meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Salah seorang rekan saya pernah menanggapi pendapat saya, “Sudah, banyak cara sudah kita lakukan agar mereka mau disiplin. Tapi ya itu...bandel... makin kita kasih hati, mereka minta jantung. Makin kita halus, mereka makin bertingkah.”
Maka jawabannya adalah, kita perlu mencari cara lain tanpa harus menggunakan kekerasan. Bukankah ada guru BK yang akan menangani hal tersebut jika kita memerlukan bantuan? Bukankah tugas sebagai guru memang mengajarkan kebaikan dan mendidik mereka untuk menjadi lebih baik? Jika kita mengajarkan dengan cara kasar, bukankah itu akan menimbulkan trauma bagi mereka? Jika dengan cara biasa tidak mampu mengatasi kenakalan siswa, carilah cara lain. Saya pernah mengalami kesulitan dalam menghadapi kenakalan siswa tingkat SLTA. Semua orang memang mengakui sekolah tersebut memiliki anak-anak yang suklit diatur. Jadi pikir saya, wajar kalau saya sulit mengatasi mereka apalagi jarak usia saya dengan mereka tidak berbeda jauh.
Tapi kemudian, ketika melewati kelas lain, saya mendapatkan kelas yang tenang. Semua siswa yang nakal itu memperhatikan penjelasan guru tanpa suara. Guru tersebut tidak pernah menggunakan kekerasan dalam mengajar. Ia betul-betul guru yang hebat. Memiliki cara untuk menunjukkan ketegasan terhadap siswa. Maka, saya ingin tahu apa yang sudah ia lakukan sehingga murid-murid di sekolah itu tunduk terhadapnya. Jadi, jika tak punya cara lagi untuk mengatasai siswa, dengarkan cara yang digunakan oleh orang lain.
Saya juga pernah mengajar di sekolah X. Sebagian besar siswa menentang tindakan kepala sekolah. Kepala sekolah melakukan kekerasan pada siswa sehingga memunculkan pemberontakan. Meski menurutnya cara itu lebih baik untuk mendisiplinkan siswa, tapi dampaknya adalah, ia menjadi umpatan oleh semua siswa dan guru lainnya. Bukankah ini tidak menjadi harapan kita sebagai pendidik? Tidak inginkah kita dikenang dengan semua kebaikan yang kita berikan oleh mereka? Tak inginkah kita dikenang seiring dengan kebaikan yang kita berikan? Tak inginkah kita diingat sebagai guru idola mereka? Meski kita juga memiliki kekurangan tertentu. Mungkin saja yang kita dapatkan dengan menerapkan kekerasan adalah rasa takut. Siswa akan menurut di depan, namun mengumpat dan membelok di belakang. Niat baik yang disampaikan dengan cara salah, tidak akan membawa dampak baik apa-apa.
Saya menulis hal ini merupakan keprihatinan saya mengenai sikap beberapa guru yang merasa bangga memukul siswa (bahkan saya mendengar beberapa guru berkoar-koar dengan bangga telah menampar banyak siswa). Guru seperti itu tentu guru yang kurang cerdik mencari cara, juga kurang cerdik mengatasi emosi. Maka sekali lagi, jika memang kita sudah tidak mampu. Mintalah waktu sejenak untuk menenangkan diri.
Tulisan ini bukan dibuat untuk mengumpat oknum guru yang dalam kaca mata saya, buruk. melainkan untuk berbagi pengalaman. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya adalah guru teladan. Sebab saya pernah mendapatkan kritikan dari seorang siswa. Saya memiliki kebiasaan jika pindah dari sekolah tertentu (ketika masih sebagai tenaga honorer), saya selalu meminta kritik, saran, atau pesan dari siswa yang ditulis di selembar kertas. Tanpa harus mereka menulis nama, mereka akan menyampaikan dengan jujur. Di antara beberapa pesan yang isinya mengenai saran; ucapan selamat tinggal; ucapan terima kasih; dan pujian, satu pesan yang menurut saya sangat menarik adalah saya sering menjelaskan atau beberapa kali mendikte materi dengan cepat. Setelah mendapat kritikan itu, saya berusaha untuk berubah. Tapi tidak lama. Saya bahkan terkesan tidak mau menerima kritikan sebab saya menyadari masih terlalu cepat ketika menyampaikan materi, namun malas untuk berubah. Sebab memperlambat ucapan membuat saya kesulitan mengatur kata-kata. Itu sebabnya saya jarang menjelaskan untuk menutupi hal tersebut. Maka tak lama kemudian, di sekolah baru, saya kembali mendapatkan kritikan yang membuat saya kembali berpikir logis dan memaksa saya untuk harus berubah meski prosesnya sulit.
“Bu, kalau mendikte untuk tugas menulis sesuai EYD terlalu cepat. Sedangkan daya tangkap saya kurang. Jadi bagaimana saya bisa menulis dengan benar kalau saya banyak tertinggal?” Demikian kutipan yang saya ambil dari tulisan siswa.
Maka, nilai yang tepat bagi saya untuk menilai mana guru teladan dan mana yang tidak, adalah 80 % untuk strategi, penguasaan materi dan siswa, ketegasan, dan keakraban. 20 % baru untuk perangkat mengajar. Itu pun khusus bagi guru yang benar-benar menggunakan perangkat pembelajarannya secara praktik, tidak untuk menjadi bundel pameran untuk pengawas yang infeksi mendadak.
Maka, saya membuat kriteria guru hebat secara sistematis. Sekali lagi, hierarki ini dibuat berdasarkan pemikiran saya secara pribadi yang saya simpulkan dari pengalaman kecil dan pengamatan.
1. Ketulusan.
2. Kemampuan menguasai materi.
3. Kemampuan membuat siswa bersemangat belajar dan menjadi lebih baik beberapa tahun ke depan.
4. Kemampuan mengelola dan mengatasi siswa dengan cara cerdas dan jauh dari kekerasan fisik atau mental.
5. Kemampuan mengajarkan atau mengelola bakat siswa.
6. Kemampuan menerima kritik dan saran dari siswa.
7. Kemampuan menggunakan multimedia atau media pembelajaran.
8. Kemampuan dalam menyusun perangkat mengajar.
9. Kedisplinan dan penampilan.
10. Kemampuan bersosialisasi dengan siswa di dalam dan di luar sekolah.
Itulah sebabnya kita mempunyai guru-guru hebat sepanjang masa yang mampu mengajar di desa terpencil, meski dia sendiri hanya tamatan sekolah dasar, hanya berawal dari penjaga sekolah, dan tidak memiliki fasilitas lengkap. Karena mereka adalah guru-guru pemilik kemampuan no.1 yang sempurna. Tanpa perangkat, tanpa fasilitas, tanpa pengetahuan khusus, tanpa gelar, mereka kemudian menjalankan tugas teragung untuk mengantarkan anak-anak bangsa dari yang tak mampu menggunakan mata menjadi mampu melihat ujung dunia melalui pandangan cemerlang.

Label:

Senin, 05 April 2010

Salam Burung Gereja


Salam Burung Gereja

Tidak pada karang
Tidak pada tebing       
Burung gereja itu sampai
Dari terbangnya yang semampai
Ia mencicit, paruhnya menganga
Sinar matanya melambai di mercusuar
Memberi salam tentang pulau-pulau yang membelah
Dari persada terindah
Ada retakan di pulau sana
Ada jilatan memerah memberangus puing cemara
Burung gereja melempar sayatan red wood
Ada gurit perih
Begitu sakitnya

Red wood terluka
Talas terbunuh sejak lama

Tidak pada karang
Tidak pada tebing
Kita lambangkan kekokohan
Melainkan burung gereja
Dengan cicit dan sinar mata
Melampau pulau-pulau terbelah
Saksi mata persada tersiksa                                                        
 Oleh Dian Tri Lestari

Label:

WISNUAGUNG

WISNUAGUNG

Pernahkah kau menyimpan seluruh jantung pada seseorang yang kau sebut wisnuagung?

Pernahkah kau dengar cerita terpotong dari seorang yang tak lagi berjantung?

Pernahkah kau bertanya kenapa tak banyak orang yang menyelesaikan kisahnya padamu?

Pernahkah kau tahu kemana separuh ceritanya terpotong?

Maka kemudian kau dengarkan dia menjawab . . .

“Jangankan bercerita, untuk berdenyut pun, jantungku tak ckup memberi kuasa.”

Pernahkah kau bertanya mengapa tak lekas kau kembalikan jantung yang kau simpan ?

“BISAKAH KAU KEMBALIKAN JANTUNGKU AGAR MENGINGATMU TIDAK LAGI DENGAN RASA SAKIT?”

Label:

Alkisah Mata Bulan _Dian_ _Pecinta Wisnuagung_


Suatu malam di sebuah negeri

Bulannya lepas dari kendali

Hingga temaramnya tidak tepat jatuh di muka para penjejak

Maka bertanya pulalah kami

di hulu dan pangkal negeri

sambil memungut serpah-serpah cahaya bulan di semak

di sela pelepah nipah

Dahulu bulan masih bersama kami

Dahulu bulan masih cemerlang

di tengah-tengah bumi…

Konon bulan minta pada Tuhan

Mengapa aku cantik tapi tak diberikan pandang untukku

menyepak nuansa bumi dengan bias cahayaku

Lalu itu pulalah, muncul mata bulan

Ia saksikan hamparan dengan bayang biru pucatnya.

Jika awan disanding, maka bayangnya bertambah temaram suam.

Lalu terpandang pula derita di sudut mata dan di luas wajah sang pecinta di tengadah tengah malam

Ia penuh rindu …

Ia penuh ragu …

Ia penuh sendu …

Maka rindunya pun runtuh

Jadi itu terasa pula oleh bulan derita serupa

Matanya tak cuma memandang berkas cahaya cantiknya membias di permukaan bumi

Namun matanya juga menampak sakit tak berupa dari para pecinta dengan mukanya yang tengadah

Bulan minta dibutakan mata

Tapi Tuhan sedang marah

Karena bulan melepas anugerah.

Bulan berkata … jika aku salah meminta, jangan Kau beri setiap doa karena kami tak tahu doa yang dijabah itu nyatanya tak sejalur asa.

Jadi suatu malam di sebuah negeri

Bulannya lepas dari kendali

Hingga temaramnya tidak tepat jatuh di sangkar bumi.

Maka bertanya pulalah kami … di selasar malam yang diapit oleh bintang

Katanya bulan sedang lepas dari Tuhan

Label: