Memoar of Crazy
Memoar of Crazy
(oleh Dian Tri Lestari)
ADA YANG BERLARI DI SANA !
Di balik lorong samar lembab dan tak nampak. Pergelanganku meregang. Bau pengap dan aneh tercium setiap aku menarik napas. Kupikir saat itu bumi sudah kehabisan oksigen. Tetapi lebih dari itu, aku merasa sesak saat semua mata memandang. Sebagian memandang seolah aku anak kecil. Tersenyum seolah aku sedang merengek. Aku bukannya merengek, aku meraung untuk dilepaskan.
Pintu berwarna putih dengan bercak noda di sudut tertutup. Aku berjalan menuju jendela berjeruji penjara. Kupegangi jeruji dingin dan berkarat. Semua yang kukenal berubah pandang dengan mata berlimpah cairan. Kulihat mata mereka memerah. Itu kali terakhir kusaksikan kerabatku. Sekaligus kali pertama aku berada di antara orang-orang aneh yang hilang akal.
Aku menyisir rambut yang mulai kusut dan menipis. sudah lama aku melakukan ini di depan cermin. Sejak si Nyonya Cina berceloteh tentang anak cicitnya yang banyak hingga ia selesai boker. Bukannya aku ikut-ikutan hilang akal dengan sengaja memperlama menyisir rambut tipis ini. Melainkan memang rambutku tak sehalus sebelumnya.
Seseorang datang. Meraih sisir. Mencoba merapikan rambutku dengan perlahan.
“Kalau mau menyisir rambut kusut, lakukan dari sisi ujung rambut. Hal itu tidak akan membuat rambut berguguran.”
Dokter muda itu baru saja diangkat sebagai dokter di sini. Ia berasal dari universitas ternama di ibu kota negeri. Dia ditempatkan di sini dan langsung menanganiku. Namanya .... ? Entah ? Aku lupa. Atau bisa saja aku tak mau tahu. Aku hanya tahu dia Dokter!
“Suami saya datang, Dok ?”
“Belum, Bu. Tapi...bukannya tadi keponakan Ibu datang? Dia kan menitipkan makanan untuk Ibu ? Dia bilang akan mengajak adik-adik Ibu ke sini.”
“Siapa?”
“Keluarga Ibu...”
Aku memandangnya miris. Entah apa yang ada dalam benaknya. Ia bukan keluargaku. Ia orang asing. Kenapa ia sampai memvonis kalau ada beberapa keluargaku yang datang? Aku tahu ... aku tahu dia hanya menghibur. Tapi hiburannya malah membuat aku tambah hilang akal. Coba Kau pikir. Kalau tak ada satu pun keluargaku yang datang menjenguk, kenapa Dokter itu sengaja berbohong hanya karena ingin menghiburku? Aku begitu kenal dengan keluargaku sendiri.
Aku tahu...aku sudah hilang akal. Tak ada satu pun dari mereka yang dengan rela mengakui kalau aku masuk dalam garis keturunan mereka. Sebab aku sudah hilang akal. Mereka pasti malu. Tak akan mau menginjak hidupku lagi semenjak aku dituduh hilang akal. Hanya aku, Tuhan, dan setan yang tahu. Ini semua manipulasi. Beberapa kebunku kini rusak. Dulu, semua tanah yang kupunya selalu tumbuh subur. Berbeda dengan milik mereka. Kini, setiap panen di kebun mereka selalu berlimpah ruah. Berbeda dengan milikku. Aku pikir itu hanya rahmat Tuhan yang diputar dariku ke mereka. Tak apalah. Toh untuk adik-adikku juga. Tapi, sekali lagi, hanya aku, Tuhan, dan setan yang tahu kalau malam itu kutemukan jarum yang tertanam di belakang dapur!
Dokter itu kembali mengajakku bicara. Ia bertanya. Aku tahu ia memancing sebuah fakta dariku dengan pertanyaan kecilnya seperti menanyakan siapa-siapa orang yang sering aku sebut. Ia ingin tahu apa penyebab sebenarnya aku hilang akal.
Aku tak mau mengatakan kalau aku menemukan jarum yang tertanam di belakang dapur. Itu malah akan semakin memebuat mereka mengira aku hilang akal. Biarkan saja dia berspekulasi macam-macam. Aku hanya ingin bersikap seperti biasa. Aku tak mau berontak atau apapun yang membuat semua orang resah. Aku sebenarnya sudah resah di sini di sekitar orang-orang yang hilang akal. Aku ingin pulang...aku ingin pulang...dengan sisa-sisa tanah dan harta yang kumiliki. Akan kugarap kembali seperti dari awal. Seperti ketika almarhum Ayah membagi hartanya.
“Bu, ini ada roti. Makanlah. Badan Ibu semakin kurus...” kembali Dokter membangunkanku dari sejumlah pikiran waras yang tak pernah ia sadari.
“Tidak, Dok. Saya tak mau. Kalau kawan-kawan saya di sini makan sup bening, kenapa saya harus makan roti?”
Kulihat Dokter mengangguk seperti menyetujui idealismeku tadi. Rasakan! Kau harus tahu kalau kau menangani orang yang salah. Aku bukan sakit hilang akal! Ini hanya manipulasi!
“Bu, ceritakanlah bagaimana hubungan Ibu dengan saudara-saudara Ibu. Saya pikir hal itu bisa membantu. Apalagi selama ini beberapa kerabat Ibu sudah banyak menceritakan soal Ibu. Mereka bilang Ibu pekerja keras dan ramah.”
Kupandangi wanita muda ini. Aku tahu dia hanya ingin menjalankan tugasnya dengan baik meskipun tak ada satu orang spesialis pun yang bisa memahami batas kenormalan seseorang. Termasuk dia. Dia tak pernah tahu kalau aku bukan hilang akal. “Nak, kalau memang benar mereka datang, tolong beri tahu saya. Saya ingin pulang...”
“Ibu belum boleh pulang. Ibu masih sakit. Nanti yah...tunggu Ibu sudah sedikit lebih gemuk. Kalau kurus begini mana bisa saya pulangkan.”
“Saya tidak sakit, Dok.”
“Kalau tidak sakit kenapa kurus begini?”
Aku terdiam. Ia benar. Tapi tetap saja aku tak mau makan.
Suamiku seorang yang memiliki otot regang yang kuat, dibalut kulit legam yang selalu berkeringat jika ia bekerja di luar rumah. Ia bertubuh kecil namun mampu memanjat pohon nyiur setinggi apapun. Ia juga orang desa sepertiku yang tak terbiasa duduk dihadapan komputer atau meja tulis. Kami terbiasa memunguti buah-buahan yang jatuh dari pohon untuk menjualnya daripada dimakan habis oleh musang atau kalong. Oh iya, musang bukan pemakan buah. Aku lupa...tapi jangan mengira kelupaanku yang satu ini sebagai gejala aku hilang akal !
Kembali ke persoalan suamiku. Dia bernama Ahmad. Matanya kecil dan bibirnya selalu mengucapkan kata-kata baik. Ia menikahiku ketika aku sudah tak bisa lagi mendapatkan anak. Ia meninggalkan istri-istrinya dan hidup bersamaku. Kalian pasti berpikir kalau dia hanya mengincar hartaku. Bukan ! Dia seorang yang alim. Dia selalu ceramah ketika Jumatan. Dia juga sabar. Seluruh keluargaku juga mengatakan makhluk dunia paling sabar adalah dia! Tapi sayang, aku tak yakin dia menyayangiku seperti perempuan yang masih dipenuhi cairan dan mampu memberi keturunan.
Aku punya seorang anak angkat yang kadang menyakiti perasaanku. Tapi aku tahu, dia hanya seorang anak. Dia hanya tak suka kalau aku cerewet di rumah. Dia anak yang pintar. Selalu rangking satu. Meski aku tak mau mengakui kepintarannya berasal dari darah keluarga asalnya. Dia pintar karena jasaku yang telah memberinya kebahagiaan lewat makanan bergizi dan barang-barang yang membuat dia senang, terhindar dari kesedihan dan rasa malu. Anakku itu tak cantik. Hampir seperti wajahku. Beberapa minggu sebelumnya, perhiasannya ditarik oleh kakak tirinya, anak suamiku. Ditarik ketika ia sedang tidur. Anakku itu hanya diam saja. Ia tak berani melapor. Kecuali ketika kulihat tak ada lagi kalung emas di lehernya. Dengan terbata-bata, ia mengaku kalau anak kandung suamiku yang mengambilnya.
Aku juga mempunyai 6 saudara kandung. 3 laki-laki, 3 perempuan. Aku yang paling tua. Dari semuanya, hanya satu orang yang kurasa sangat menyayangiku. Nafiri. Dia lahir setelahku. Tinggal di kota dengan dua orang anak yang sudah kaya. Ia tak pernah melawan atau menyakitiku sejak dulu. Ia sayang dan lembut pada siapa pun. Aku memujinya bukan karena aku tak suka adik-adikku yang lain. Hanya saja mereka kadang suka membantah. Mungkin karena mereka merasa lebih muda.
Aku memiliki banyak keponakan dan cucu. Beberapa keponakanku sempat kuasuh dulu. Kini ada yang sudah berumah tangga, ada yang sarjana, bahkan ada yang ke Jepang sebagai pemain Kabuki.
Tapi masalahnya, tak satu pun dari puluhan keluargaku datang dan memberi senyuman padaku di sini. Tak satu pun!!!
Beberapa penghuni di ruangan ini menyenggol. Aku terbangun tepat ketika semuanya bersiap untuk sarapan di ruang makan. Aku tak mau. Meski mereka memaksa. Bahkan si Nyonya Cina begitu sedih karena aku tak ikut makan. Para perawat sempat memaksa.
“Tidak, Bu...saya sedang tidak ingin makan...” kataku ketika Dokter datang bertanya.
Ia meraba kening. “Ibu sakit. Kalau begitu Ibu istirahat dulu,” katanya dengan wajah prihatin.
Tak lama, aku memejamkan mata, ia datang membawa obat. Kumakan dengan baik semua obat yang ia berikan. Lalu aku melanjutkan tidur ayam. tidak sepenuhnya tidur. Dengan sedikit terjaga inilah, aku mendengar suara ricuh di luar.
“Ibu...Ibu Nandung...ada keluarga Ibu nih?”
Mungkin saja itu hanya mimpi.
Hingga aku hampir kembali terlelap, aku dibagunkan oleh perawat dari luar jeruji. Aku terbangun dari lelap di lantai ubin yang dingin. Kulihat dua orang wanita berpakaian rapi dan terlihat sehat di luar jeruji. Aku bangkit. Kulihat mereka. Keduanya mencium punggung tanganku.
“Apa kabar ?”
“Bibi juga apa kabar?” tanya seorang yang lebih muda. Kulihat seorangnya lagi menghindar. Ada mata memerah yang ia punya. Matanya juga penuh dengan air. Bahunya berguncang. Seorang perawat menenangkannya. Kini seorang yang lebih muda bertanya padaku.
“Bibi sudah makan ?”
“Sudah,” jawabku. Kuberi mereka senyuman karena mereka telah rela menangis untukku. “Kenapa kalian menangis, Nak?”
Dia tak bisa menjawab. Sungguh baik hati mereka. Menangisi aku, orang yang tak mereka kenali. Bahkan aku tahu kalau dua orang ini adalah orang lain yang dulu bahkan hanya datang minta air minum ke rumahku. Mereka bukan keluargaku. Mereka hanya menutup kedok agar kedatangan mereka sebagai ‘keluarga’ dapat membuat semua orang berpikir kalau aku tidak kekurangan kasih sayang.
Tapi aku tahu Tuhan, aku tak pernah mengenali mereka. Tapi aku sangat senang kalau mereka merasakan perih melihat keadaanku yang ringkih dan dikelilingi orang-orang hilang akal.
Wanita yang lebih muda itu menatapku terus. Ia menatap sembari mencoba menahan sesak napas. Ia terlihat lebih kuat dari wanita yang satunya lagi. Hingga kemudian mereka diajak bicara oleh Dokter. Aku tak dapat melihat lagi apa yang mereka lakukan. Tapi ketika mereka datang, mereka bilang...
“Bi, kami pulang dulu yah?”
“Bibi ikut,” pintaku.
“Nanti ya, Bi. Nanti saya jemput. Tapi saya pulang dulu. Bibi yang sehat saja di sini. Ada roti buat Bibi. Dimakan yah?”
“Tidak, aku mau pulang. Aku tidak betah di sini.”
Kembali kulihat ia menangis. Mereka jadi kebingungan. Kemudian aku hanya bisa pasrah karena aku tahu mereka tak mau membawaku pulang lagi. Pulang kemana ? Bukankah mereka bukan keluargaku ? Terserah, yang pasti keluar dari sini. Aku tahu kalau mereka tak akan mau membawa aku pergi sebab tugas mereka hanya sampai melihatku saja. Akhirnya aku hanya berbalik badan dan membiarkan mereka pergi. Jelas aku marah !
“Itu keponakan Ibu yah ?” tanya seorang yang hilang akal. Aku malas menyebut namanya.
“Entah! Mungkin saja benar...”
Meski mereka bukan keluargaku, tapi aku lebih menghargai mereka karena mau datang untuk melihat.
“Keluar!!! Keluar!!! Cepat!”
Beberapa orang datang menyerbu ruangan. Mereka terlihat tegang. Tapi badanku semakin panas. Kepalaku pening dengan berat. Beberapa bunyi mendengung seperti beribu tawon terdengar. Aku menangis. Aku memekik menjerit. Beberapa dari mereka menenangkan.
“Kalau kalian ingin selamat, pergilah. Biarkan aku pergi. Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi...”
“Tenang, Bu...tenang, Bu...”
“Kalian akan mati...kumohon percayalah! Aku sungguh-sungguh. Demi Allah...mereka akan datang membunuh kalian.”
Langit di luar tampak gelap. Mendung. Sebentar lagi hujan dengan angin yang luar biasa besar. Aku tahu itu adalah tanda kalau penyakit akan datang pada orang-orang yang sudah berbaik hati ingin aku sembuh. Kasihan para dokter dan perawat yang tak tahu apa-apa. Mereka hanya menjalankan tugas dan kewajiban mereka sebagai seorang dokter. Tapi mereka akan terkena sakit yang merenggut maut.
Aku harus berlari. Aku harus menemui kepala rumah sakit, mungkin dia sedikit lebih bisa memahami jiwa seseorang yang tidak sedang hilang akal. Mereka harus tahu kalau teluh yang dikirimnkan keluargaku akan membuat mereka mati. Aku berdiri dan berlari menuju pintu yang terbuka. Tapi mereka menangkapku.
“Lepaskan aku! Kalian akan mati!!! Kalian akan mati. Kumohon pergilah!!!”
Tapi tak ada yang mau peduli. Mereka hanya menahan dan mengikatku ke ranjang dengan kain-kain putih kumal dengan erat. Aku sesak. Dadaku meluap-luap karena ketakutanku tak pernah mereka percaya. Aku berontak sekuat tenaga. Tetapi ikatan sungguh kuat. Bahkan kulihat mereka memberikanku cairan lewat mata jarum yang runcing. Aku mulai bisa melihat sekitar dengan jelas dan nyata. Tidak lagi kabur seperti sebelumnya. Suara-suara tawon semakin menjauh. Tapi malah aku bertetesan air mata.
Dokter datang memelukku dengan hangat. “Ada apa, Bu ?” tanyanya menangis.
“Percayalah padaku, Nak. Aku tak mau kau celaka. Kumohon percayalah...!”
Ia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan dalam dan khidmat. “Iya, saya percaya. Ibu tenanglah. Kami semua ramai di sini. Kita akan saling menjaga...”
“Sungguh?”
Ia mengangguk pasti.
Tuhan...aku bersyukur kali ini mereka memahami kebenaran yang sesungguhnya!
Gambaran kebun-kebun dan hutan lebat terlihat nyata. Aku yakin ini ilusi. Ilusi yang sengaja didatangkan untuk mengirimkan aku peringatan. Kebun-kebunku yang lebat dan rimbun sedang panen. Buahnya lebat. Di antara pohon-pohon rambutan dan lembabnya daun-daun kering di tanah basah, berdiri orang tanpa garis di bibir. Kami menyebutnya Orang Kebenaran. Mereka datang mengirimkan pesan.
“Pergilah secepatnya. Apa kau mau mereka di sini mati semua karena telah dianggap ikut campur dalam urusanmu? Pergilah, demi keselamatan kalian semua. Sebentar lagi teluh itu akan dikirim. Dua orang yang datang menjengukmu telah mendapatkan rambut yang kau jatuhkan selama bersisir.”
“Dari mana kau tahu ?”
“Kau percaya pada misteri Tuhan? Tak perlu kau tanyakan dari mana aku tahu. Cukup selamatkan hidupmu. Hidup orang-orang yang tak berdosa ini.”
Maka kubuka mata, kusaksikan dunia menjadi sepi dan senyap. Aku berada di atas tempat tidur tunggal di ruang bersih dan lebih sempit. Tak ada siapa pun, tak ada si Nyonya Cina. Aku dipindahkan di ruangan lain karena telah mengamuk. Lihat kan? Betapa sadarnya aku telah mengamuk, juga tahu kalau ini ruang isolasi? Lalu kenapa orang sepertiku dianggap hilang akal?!
Aku pikir kau percaya, Dokter.
Ia masih terus tersenyum memberi aku makan di ruang isolasi. Padahal aku tahu kalau ia bingung. Ia tak akan mungkin menyembuhkanku karena memang aku tak pernah sakit. Ia teguh dan sabar. Namun ia sama saja dengan yang lain, tak pernah percaya. Mereka semua makhluk perkotaan yang hilang kepercayaan pada teluh. Mereka tak tahu kalau teluh masih ada di muka bumi.
Setan masih hidup nyata dengan manusia. Meski banyak manusia yang tak mau mengakui kehadiran teluh.
“Saya akan lepaskan ikatan, tapi jangan marah lagi yah? Ibu sudah aman di sini.”
“Tapi kenapa di sini sepi ?” tanyaku ketika dengan perlahan dia membuka ikatan.
“Ibu di ruang isolasi.”
Kan benar?!
“Kenapa saya diisolasi?”
“Karena Ibu mengamuk tadi malam. Pasti karena demam Ibu sangat tinggi. Makanya, sembuhlah. Saya ingin mendengar Ibu mengaji seperti yang dikatakan keponakan Ibu. Tapi jika Ibu sudah sembuh nanti.”
Aku tersenyum miris dan sinis. Lagi-lagi dia percaya pada orang-orang hilang akal yang mengaku waras.
Ikatan sudah terlepas semua. Aku mengambil piring drai tangannya. Kulahap makanan itu sendirian sebab tanganku tak lagi terkekang. Ia pindah duduk di belakang punggung. Ia mengikat rambutku agar tak tergerai seperti orang hilang akal. Ia ingin aku tetap terlihat segar.
“Ibu mau mandi,” aku memintanya.
“Jangan dulu, badan Ibu masih panas. Saya ambilkan lap basah yah ?”
Aku mengangguk. Duhai anak yang baik. Kau akan masuk surga karena telah relah membersihkan tubuhku yang ringkih, berkeriput, dan kotor dengan tanganmu yang terbiasa bersih. Bahkan anakku saja tak pernah membersihkan keringat yang menetes di keningku saat kami sama-sama meraih panen buah-buahan.
Aku diam. Pintu kamar terkunci setelah Dokter keluar mengambil handuk basah. Aku termenung memikirkan bagaimana caranya menyakinkan mereka kalau sebentar lagi mereka akan kehilangan nyawa kalau mereka tak membiarkan aku kembali pulang ke rumah. Mengambil jarum itu dan memusnahkannya sehingga teluh yang dikirimkan bisa terpatahkan.
Dokter datang dan membuka pintu. Ia melihatku lagi dengan senyuman. Ia meletakkan ember bersii air segar. Diperasnya handuk kecil. Ia membasuh wajahku terlebih dulu dengan lap basa. Wajah kembali terasa segar dnegan sentuhan air. Hingga kemudian dia memberishkan setiap jengkal tuibuhku dari leher hingga buah dada.
“Kepala Ibu masih pusing?” tanyanya.
“Sudah tidak lagi. Dokter, saya mau tanya...”
“Apa?”
“Kalau dari sini ke rumah saya, jauh tidak ?”
“Cukup jauh, Bu.”
“Pakai Oplet apa?”
“Mungkin oplet berwarna coklat, lalu abu-abu...”
“Ongkosnya berapa?”
“Dua ribu barangkali... Ibu tidak pernah naik oplet ke sini yah?”
“Tidak pernah, Ibu serting pergi ke sini menjenguk Fatimah dengan motor air milik suami Ibu.”
“Pasti menyenangkan mengarungi lautan dengan suami...”
“Iya...kamu sudah menikah, Nak?”
“Belum, Bu.”
“Ibu peringatkan, hati-hati yah memilih pasnagan. Cari yang setia dan kalau perlu sedikit terus terang. Jangan terlalu manut dengan omongan kita. Karena orang seperti itu kita tak tahu bagaimana isi hatinya. Ia selalu berpura-pura menurut.”
“Benar, Bu. Laki-laki harus lebih bisa memerintah istri. Bukan malah sebaliknya. Saya pun tak mau laki-laki yang lemah. Saya mau laki-laki yang mampu bilang tidak pada tindakan saya yang tidak benar.”
“Bagus kalau kau berprinsip demikian...”
“Ibu, saya bangga dengan Ibu. Ibu adalah pasien dengan kasus yang cukup berbeda. Ibu tak terlihat seperti pasian lainnya.”
“Sudah berapa kali saya katakanb, saya bukan orang yang hilang akal.”
“Yah, Ibu bahkan dapat melihat dengan tatapan normal...”
“Karena memang saya orang normal!”
Aku berdiri mendadak. Kusingkirkan ember berisi air yang menghalangi langkah. Aku berlari membuka pintu yang kuncinya tergantung dengan apiknya. Kudengar dokter itu berteriak memanggil. Ia seperti mengejar. Aku tak mau berpaling melihatnya lagi.
Aku harus pergi dari sini.
“Kejar Ibu itu...Satpam!!!”
Kudengar suara alarm terdengar memekak. Telingaku sakit mendengarnya. Segera terdengar derap langkah orang mengejar. Aku tak mau menoleh ke arah manapun. Aku terus berjalan lurus ke arah yang menurutku pintu keluar. Hingga lorong tak lagi gelap, beberapa orang berada di depan mencoba menghadang. Aku berbelok ke arah lain, ke arah dengan cahaya terang di depannya.
Kini suara tawon terdengar. Mereka pasti ikut menghalangiku untuk kabur dari tempat ini agar rencana mereka tertap berjalan lancar. Mereka mengejar. Baik mahkluk sempurna maupun makhluk jadi-jadian. Mereka semua mengejar. Telingaku penuh dengan suara. Napasku sengal dan lemas. Kakiku sudah gemetar. Dadaku sudah kempis dengan oksigen yang kurang. Tapi aku harus lari. Demi semua orang.
Aku menoleh sejenak..
Dokter berlari dengan wajah gusar. Aku tahu dia menagis dan sedih.
Kakiku berlari lebih cepat dari biasa setelah aku meruntuhkan tempat sampah untuk menghalangi jalan mereka. Seorang di depanku hampir menyergap. Kupukul wajahnya dengan daun pintu yang kebetulan terbuka di antara kami, ia tetjatuh dan mungkin pingsan. Bahkan mungkin mati.
Ya Tuhan...terima kasih...aku berada di luar. Di pinggir jalan raya. Kulihat lagi Dokter untuk terakhir kali. Sang perempuan muda yang baik hati dan memiliki cita-cita mulia untuk menyembuhkan orang-orang sakit. Aku berbalik tepat ketika suara tawon semakin terdengar jelas. Bahkan wujudnya tampak di hadapanku.
Aku berteriak.
Berteriak hingga pita suaraku pun putus. Hingga suaraku terhenti!!!
Terakhir kali kulihat...jemariku kejang!!!
“Maafkan kami...” kata mereka.
Kami hanya bisa menerima apa yang mereka katakan sebagai kepasrahan. Toh mereka memang tidak tahu. Ini semua di luar kuasa. Ini memang sudah takdir. Meski ada kelalaian di balik insiden ini.
Kami semua memandangi Bibi dengan mata kami yang lelah. Kami semua memandangnya dengan perih yang menjerit. Wanita itu sungguh penuh gejolak. Penuh misteri. Tapi kami semua menyayanginya.
“Kenapa Bibi samapai begini, Ma?” tanya seorang sepupuku yang lain. Ia sudah punya suami. Ia sedih kedua kalinya. Ia juga sedih saat kami datang menjenguk Bibi dua hari yang lalu.
Bibiku, yang bernama Nafiri menangis sambil berdzikir.
“Kami menyayangimu, Nandung...”
Seorang Dokter muda datang. Dia menyentuh pundak pamanku, suami Bibiku yang tercinta. “Pak, beliau menitipkan pesan...kalau dia mencintai kalian semua. Meski ia marah karena ia tak pernah dijenguk...”
“Kenapa dia sampai mengira tak pernah dijenguk oleh kami, Bu ?”
“Ya, saya tahu, Pak, tak habis setiap saat kalian semua datang dan memberikan perhatian. Dia memang selalu menganggap tak ada satu orang pun dari keluarganya yang datang. Mungkin kami kurang pandai membuat dia bisa sadar akan kondisi yang sebenarnya...”
Yah, Bibi...menyangka setiap hari orang yang menemuinya hanyalah orang kebenaran, atau teman satu pasien, atau orang asing! Ia memang sedang hilang akal. Tapi tak pernah aku sangka ketakutannya begitu besar hingga membuat ia kehilangan nyawa di bawah roda mobil mewah di jalan raya!
“Kita pulang...Bibimu harus segera kita makamkan !” ajak Ayah.
T A M A T
(Terinspirasi dari kisah nyata)
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda