Selasa, 06 April 2010

PERAWAN MENGANDUNG (Peraih juara peran wanita pembantu terbaik dan nominasi arktis terbaik dlm festival teater di Taman Budaya Pontianak 2009

PERAWAN MENGANDUNG
Sutradara & Penulis Skenario Oleh Dian Tri Lestari

Sinopsis :
Secara konkret, naskah ini menceritakan tiga orang bersahabat di sebuah rumah kontrakan. Seorang di antara mereka mendadak hamil. Ketiganya bingung dengan kehamilan tersebut. Maka mereka mencari-cari siapa sebenarnya ayah dari bayi tersebut. Perawan mengandung tersebut berniat untuk membunuh dirinya sendiri agar ia tidak menanggung aib karena sampai menjelang kelahiran anaknya pun, tak diketahui siapa suaminya. Namun kisah ini sesungguhnya merupakan lambang dari ibu pertiwi yang entah kapan mengandung kesalahan. Kesalahan itu dapat dilakukan oleh siapa dan dengan cara bagaimana saja. Tetapi yang kita lakukan selama ini bukanlah menyiasati kesalahan itu agar berbuah kemuliaan, melainkan terus saja mencari-cari siapa yang menciptakan kesalahan tersebut. Seandainya saja sumber tersebut dapat ditemukan, bukan berarti ibu pertiwi mendadak tak hamil lagi.

Pemain:
1. Pemain 1 : Dian Tri Lestari
2. Pemain 2 : Endang Kurniawati
3. Pemain 3 : Senja Rizky Muktitama

Setting : Suasana di dalam ruang di sebuah tempat kos atau kontrakan.
Panggung menunjukkan suasana sepi dan sedikit cahaya. Sebelah kanan panggung, terletak tikar (karpet). Sebelah kiri belakang panggung terdapat satu meja dan kursi kosong.

01. Pemain 2
(Masuk membawa kertas, penggaris, pensil, kaca mata, majalah, dan secangkir teh, kemudian duduk di kursi dan meletakkan semua barang bawaan ke atas meja. Ia meminum teh sambil mempersiapkan rencana)

02. Pemain 1
(Masuk menuju ke kanan –panggung. Mondar-mandir berlajan sambil mengusap-usap perut)
“Kau tahu berapa lama lagi kira-kira bayiku ini akan lahir?”

03. Pemain 2
“Kurasa sebentar lagi. Kira-kira kau mau boks yang memakai tutup atau yang bisa goyang-goyang?”

04. Pemain 1
“Terserah kau lah. Yang penting bayiku aman dan terlihat lucu di tempat itu.”

05. Pemain 2
(Sibuk membuat rancangan boks bayi)

06. Pemain 1
“Apa yang kau lakukan ?”

07. Pemain 2
“Membuat kotak bayimu. Aku harus mengukur dengan benar.”

08. Pemain 3
(Masuk membawa pisau dan apel. Dia duduk dan memakan buah)
“Bagaimana kondisi bayimu?”
09. Pemain 2
“Baik. Semakin lama dia semakin lincah. Aku yakin dia akan jadi bayi yang sehat nanti seperti bapaknya.”

10. Pemain 3
“Memangnya kau tahu siapa bapaknya ?”

11. Pemain 1
(Senang) “Tentu saja. Dia pasti seorang laki-laki gagah, berwajah tampan, bersifat seperti batara wisnu, dan bersikap seperti ksatria. Ya kan ?”

12. Pemain 2
“Tentu. Ia pasti memiliki wibawa seperti raja-raja. Suka menolong dan tidak gila kekuasaan.”

13. Pemain 3
“Kalian mengatakan itu seperti tidak pernah terjadi saja.”

14. Pemain 1
“Dia itu titisan dewa. Betul kan ?”

15. Pemain 2
“Betul! Sri Rama.”

16. Pemain 1
“Dan aku... jelas, Dewi Sinta. Putri sepertiku ini merasa aman bersama seorang Sri Rama meski di tangah hutan belantara. Kami nikmati ilalang tinggi menjulang sebagai tirai sutera. Kami nikmati buah-buah liar sebagai buah surga. Kami nikmati tidur di lindungan akar pohon sebagai di dalam awan berpualam.”

17. Pemain 2
(Berdiri dan mendekat pada pemain 1 yang datang padanya.)

18. Pemain 1
“Maka malam itu kami nikmati bulan dicumbu hutan.”
(Berpegangan tangan dengan pemain 2)
“Wahai kandaku Sri Rama...jangankan di hutan belantara, di neraka sekalipun tak kan kuminta pindah ke surga.

19. Pemain 3
“Lalu datang Rahwana membawa kabur Dewi Shinta. Dibawa terbang sambil menyentuh bagian-bagian tubuh Dewi Shinta.”

20. Pemain 2
“Hai Raksasa Laknat! Jangan bawa kabur Dewi Shinta! Turun kau sekarang! Jatayu, raja para burung, tolong bawa Dewi Shinta!”

21. Pemain 3
“Jatayu berperang dengan Rahwana. Tapi Jatayu pun kalah. Ia jatuh ke bumi. Dewi Shinta dibawa pergi.”

22. Pemain 2
“Kau tak mau dengar ancamanku, Rahwana ?! Akan kupanah jantungmu!”
(Memanah...terkena Rahwana.)

23. Pemain 2 & Pemain 3
“Mampus kau, Rahwana!”

24. Pemain 1
(Meringis sakit)
“Aduhai Sri Rama, panahmu mengenaiku. Lupakah kau kalau aku di gendongan Rahwana?”

25. Pemain 3
“H
(Tertawa)
“Suamimu membunuhmu, Kawan!”

26. Pemain 2
“Bukan dia...jelas bukan dia suamimu. Tak ada Sri Rama di dunia nyata. Yang ada hanya seorang bercelana pendek, berikat kepala merah putih. ia pegang tombak panjang. Lalu ia merayap setiap melewati garda musuh.
(Merayap ke kanan panggung)

27. Pemain 1
(Pindah posisi ke arah kiri panggung)
“Suamiku menyerang, Kawan! Menyerang dengan penuh semangat. Ia rebut kekuasaan penjajah. Ia teriakkan...serang, Kawan-kawan! Kita hanguskan penjajahan di muka bumi!”

28. Pemain 2
“Enyah kau, Bule...!!!”

29. Pemain 3
(menembak)

30. Pemain 2
(Jatuh)

31. Pemain 3
“Maka matilah pejuang bercelana pendek, berikat kepala merah-putih, dan tak tahu memakai senjata!”

32. Pemain 1
“Kau apakan dia?”
(Membantu Pemain 2 untuk bangun)

33. Pemain 3
“Aku tidak melakukan apa-apa. Kalian itu cuma berkhayal. Cuma menghibur diri.”

34. Pemain 1
“Lalu aku tak punya suami? Tak mungkin ada bayi tanpa suami.”

35. Pemain 2
“Tenang, masih ada satu kemungkinan.”

36. Pemain 1
“Aku harap kemungkinan itu benar. Aku tak mau suamiku hidup di zaman dulu. Aku hidup di zaman sekarang, jelas suamiku juga hidup di zaman sekarang.”

37. Pemain 3
“Maka janganlah kau berharap suamimu setampan Rama atau seberani pelawan penjajah.”

38. Pemain 2
“Mungkin ia berpenampilan sederhana seperti kita. Berkaos oblong dengan megaphone di bahu.”

39. Pemain 1
“Ia tegak berdiri di atas gedung, di muka istana, di tengah-tengah podium. Lantang suaranya berteriak ... keadilan di muka bumi harus ditegakkan. Wahai... penguasa berkerah merah. Dengarlah jerit tangis anak-anak putus sekolah. Dengar denting periuk nasi ibu kami yang kosong. Dengar perih ayah kami melolong karena di-PHK. Dengar parau suara anak muda berpeluh-peluh menghamba ijazah tak berguna!”
Tak adakah keadilan untuk kami?”

40. Pemain 3
“Maka setelah itu tak terdengar suaranya. Ia bungkam. Dibungkam, dipenjara, dienyahkan dengan cara-cara sopan oleh orang-orang yang tersinggung. Oleh penguasa berkerah merag. Hilang lagi suamimu!”

41. Pemain 1
“Eh, kau tak suka seperti ini kenapa? Apa masalahmu? Dari tadi kau saja yang membuat semua suamiku tak ada.”

42. Pemain 3
“Karena mereka memang bukan suamimu!”

43. Pemain 2
Janganlah kau menyinggung hati kawanmu itu! Nanti dia stres, bahaya buat kandungannya. Apa salahnya kalau kita mencari siapa biang kerok isi perut teman kita ini ?”

44. Pemain 3
“Tapi tidak dengan mencari-cari.”

45. Pemain 2
“Memangnya kau tahu siapa suaminya?”

46. Pemain 3
“Bisa saja suaminya mati diinjak-injak waktu naik haji. Atau diinjak-injak waktu melarikan hasil jarahan toko besar yang dibakar para demonstran. Atau suamimu adalah anak Pak Selamat, orang rumah sebelah yang seminggu lalu menggoda anak perawan kampung sebelah.”

47. Pemain 1
“Tidak! Aku tidak mau dengan dia. Kau memang iri denganku.”

48. Pemain 3
“Aku tidak iri, Kawan! Kau harus sadar. Kau tak punya suami.”

49. Pemain 1
(Mengambil pisau dan mengancam R) “Kubunuh Kau! Aku tak suka kau menghancurkan khayalanku!”

50. Pemain 2
(Menarik Pemain 3 untuk menjauh dari Pemain 1)
“Sabar, Kawan! Dia benar, kita harus berpikir logis bahwa bayimu ada tanpa kita tahu sebabnya.”

51. Pemain 1
(Menuju ke kursi dan bersedih)
“Jadi maksud kalian, bayiku ini adalah kesalahan ? Tak mungkin aku tak punya suami. Tak mungkin bayiku ini ada begitu saja.”
52. Pemain 2
“Mungkin kau seperti perawan Maryam yang mengandung Nabi Isa, bisa saja kan ?”

53. Pemain 3
“Tentu saja tidak bisa! Bayi itu kesalahan. Bukan kemuliaan seperti yang dititipkan Rohul Kudus.”

54. Pemain 1
“Jadi suamiku siapa ?”

55. Pemain 3
“Kau masih perawan. Kawan. Kau perawan yang bisa mengandung. Kau sama seperti keadaan di bumi saat ini. Kau bumi pertiwi yang selalu perawan, Kawan.”

56. Pemain 1
“Jadi suamiku siapa ?”

57. Pemain 3
“Selama ini kita selalu mencari-cari siapa suamimu. Siapa yang membuat kesalahan sebesar itu. Kau harus sadar, kau perawan mengandung. Mengandung kesalahan!”

58. Pemain 1
“Jadi tak jelas siapa suamiku...”
“Baiklah, aku mati saja! Lebih baik kubunuh bayi yang kau sebut kesalahan ini!”

59. Pemain 2
“Kau jangan bodoh, Kawan! Bukannya kau selau ingin menunggu anakmu itu lahir ?”

60. Pemain 1
“Ya, jika ia bukan sebuah kesalahan.”

61. Pemain 3
“Maafkan aku kalau kata-kataku mempengaruhi pikiranmu. Aku hanya ingin kita tidak berkhayal dan mencari-cari kesalahan. Itu saja.”

62. Pemain 1
“Lebih baik aku mati saja daripada melahirkan kesalahan.”

63. Pemain 2
“Jangan, kumohon jangan. Akan kubuatkan boks bayi gratis untukmu. Tapi jangan mati ya...”

64. Pemain 1
“Tidak! Tak payahlah kau buat boks bayi untukku. Aku mau mati saja!”

65. Pemain 2
“Tuh kan, ini gara-gara kau sih...”

66. Pemain 3
“Lho kok gara-gara aku ? Aku kan gak tahu jadinya begini. Seperti sebuah kesalahan, kita tidak tahu ternyata perkataan atau perbuatan kita akan menjadi kesalahan suatu saat nanti. Bahkan kesalahan sebesar itu!”


67. Pemain 2
“Seharusnya kau diam saja tadi.”

68. Pemain 1
“Aku mati nih...aku mati nih...”

69. Pemain 3
“Eh, jangan! Kami mohon jangan...”

70. Pemain 1
“Kusudahi saja kesalahan yang kukandung agar tak tumbuh lebih besar !”

71. Pemain 3
“Dengarkan aku, kau memang mengandung kesalahan. Tapi kau tak bisa menutupi atau melenyapkan kesalahan itu. Tapi cobalah untuk menyiasati kesalahan itu menjadi kemuliaan. Kau percaya kan pada hikmah ? Tak ada sejarahnya ibu pertiwi bunuh diri!”

72. Pemain 1
“Aduh...perutku... (kesakitan dan turun dari meja)
“Tolong aku, sudah saatnya nih....aduh, Tuhan...”

73. Pemain 2
(Membantu pemain 1 berdiri)
“Sudah mau melahirkan ?”

74. Pemain 1
“Iya.”

75. Pemain 2 & Pemain 3
(Membawa pemain 1 pergi)




S E L E S A I











SEPTEMBER 2009
SANGGAR KIPRAH

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda