Naskah Drama
CONTRENG SAYA
(C S)
Diangkat dari puisi “Sajak Palsu” dan “Proklamasi 2”
Oleh Sanggar Kiprah
sutradara dan penulis skenario: Dian Tri Lestari
Bagian teatrikal: 1. Putih 2. Hitam 1 3. Hitam 2 4. Hitam 3 5. Rakyat 6. Guru 7. Pedagang 8. Caleg 9. Siswa 1 10. Siswa 2 11. Siswa 3
Para pemain :
Bagian pendidikan:
1. Guru
2. Ortu
3. Nero
4. Timika
5. Siswa 1
6. Siswa 2
Bagian ekonomi:
1. Pedagang
2. Usman
3. Pembeli
Bagian politik:
1. Caleg
2. Pengawal 1
3. Pengawal 2
Pemain yang tidak boleh memerankan dua/lebih tokoh adalah guru, pedagang, dan caleg.
Bagian I
Lampu off
Setting: Ruang kelas
(Meja dan kursi guru di tengah panggung. 4 pasang meja dan kursi berderet rapi menghadap meja guru dengan posisi diagonal)
Lampu on
2 orang siswa sudah duduk di dalam kelas. Seorangnya duduk di kursi, seorangnya lagi duduk di meja.
1. Nero : (Masuk dengan sikap angkuh dan anggun. Pandangannya meremehkan orang lain)
My name is Nero
2. Timika : (Masuk dari arah belakang Nero. Tampilannya tidak separlente Nero.)
3. Nero : (Memperhatikan fisik Timika dengan sinis dan jijik)
Dandananmu dari kemaren itu-itu terus ?
4. Timika : Ada yang salah ?
5. Nero : Ada yang salah, Ada yang salah, Ada yang salah ? Ya jelas salah dong. Lihat bawaanku. Hp aja 3. Sekolah aja pakai mobil mewah. Sepatu merk Rusia. Mau, mau, mau ?
6. Timika : (Diam)
7. Nero : (Meninggalkan Timika dan duduk di kursinya)
8. Guru : (Masuk dan diikuti Timika. Timika duduk di kursi. Sedangkan guru menuju ke mejanya dengan wajah muram dan tergesa-gesa. Setelah meletakkan semua peralatan mengajar, ia duduk di kursi)
Maaf anak-anak, saya terlambat.
9. Nero : Gak apa-apa, Bu. Kita sendiri baru saja datang.
10. Guru : Baiklah, sekarang kita belajar menulis notulen diskusi
(Semua siswa gaduh, kecuali Timika)
11. Nero : Aduuuh, Bu. Susah. Belajar lain saja.
12. Guru : Kok kamu yang mengatur saya ?
13. Nero : Bukannya gitu, Bu. Cuma, ngapain belajar notulen, kalo hasil diskusi hanya jadi wacana
14. Guru : Nero ! Memangnya kamu gak mau dapat nilai ? Memangnya kamu gak mau dapat ijazah ?
15. Nero : Kita-kita sih berpikir realis. Buat apa belajar Bahasa Indonesia atau Matematika kalau kita tidak tahu kenapa kita harus belajar Bahasa Indonesia atau Matematika. Buat apa belajar PKN atau Ekonomi kalau kita gak mau jadi pedagang jujur yang miskin. saya sih maunya belajar musik atau modeling, Bu. Itu baru berguna.
16. Guru : (Marah) Lalu buat apa kau jadi musisi kalau bahasamu masih tidak sopan ?!
17. Nero : Alaaah ... Ibu gak gaul !
18. Guru : (Menggebrak meja dan berdiri dengan wajah marah besar)
Kenapa kalian tidak bisa diajak pintar ? Diajak benar ? Kalian pikir saya tidak capek ngajar kalian ? Gaji saya sebagai guru swasta ini tidak cukup untuk makan saya sendiri. Di rumah, saya ada masalah. Kalian tambah lagi di sini. Nero ! Kamu saya skorsing satu tahun !
(Keluar)
19. Nero : (Berteriak ke arah guru)
Buat apa sekolah benar kalo cuma dapet selembar ijazah ? Berhasil atau gak-nya orang, gak diliat dari angka 8 di nilai Ujian Nasional. Eh, denger semua ! Apa ada jaminan lulus Ujian Nasional, kita pasti jadi berhasil dan berbudi ?
20. Timika : Yang lulus aja belum tentu jadi orang sukses dan berbudi, apa lagi gak lulus !
21. Nero : Nanya balik lagi lo ! Kalo setiap pertanyaan dibalas dengan pertanyaan, kapan kita tahu jawabannya ? Kalian akan liat nanti kalau duit juga yang pegang kendali !
22. Timika : Tapi kalo semua orang kaya bego kayak kamu, bentar lagi ada majikan bergelar pembantu !
23. Nero : (Berdiri dan membalas ucapan Timika. Ia sangat marah)
BJG lo !!!
(Mengejar Timika karena hendak memukul Timika)
(Semua siswa keluar. Terdengar suara perkelahian dari belakang panggung. Lama kemudian terdengar sayup, kemudian tak terdengar sama sekali)
24. Guru : (Masuk dengan wajah serius)
Silakan masuk, Pak !
25. Ortu : (Masuk dan duduk di hadapan guru)
Saya datang kemari memenuhi panggilan Ibu. Ada apa yah, Bu ?
26. Guru : Saya memanggil Bapak menemui saya, berhubungan dengan anak Bapak, Nero. Dia sudah banyak melanggar peraturan. Terakhir kali, dia berkelahi dengan Timika. Perkelahian antargenk !
27. Ortu : Oh soal itu. Kita lupakan saja masalah ini.
28. Guru : (Heran) Asal Bapak tahu, beban kami sudah berat. Ditambah perilaku buruk siswa. Seharusnya orang tua memberikan teguran yang tegas pada siswa. Barangkali siswa bisa berubah.
29. Ortu : Sudahlah, Bu. Namanya juga masih remaja. Kalau Ibu menganggap hal ini berat, kan malah menambah masalah pribadi Ibu, kan ?
30. Guru : Tak bisa semudah itu, Pak. Nero sudah banyak melanggar peraturan.
31. Ortu : Kalau saya boleh tahu, beban seperti apa yang Ibu maksud ? Barangkali bisa saya ringankan.
32. Guru : Ibu tahu sendirilah bagaimana nasib guru seperti saya. Gaji tak cukup, tapi pengeluaran banyak. Tidak cukup, Pak.
33. Ortu : Oh, kalau begitu kebetulan sekali.
34. Guru : Maksud Bapak ?
35. Ortu : Saya bisa kirim uang 20 juta buat Ibu dan Ibu bisa tarik hukuman untuk anak saya. Jadi, kita saling meringankan beban kan ? Permisi, Bu.
(Keluar)
36. Guru : (Termenung sejenak, kemudian keluar)
Bagian II
Pedagang masuk dan sibuk merapikan warungnya (properti kelas diubah oleh pemain menjadi meja wwarung dengan meja dan kursi tersusun memanjang). Ia keluar panggung lagi dengan membawa barang dagangan.
37. Pembeli : (Masuk)
Baru buka nih ?
38. Pedagang : Iya, Bu. Ibu mau beli apa, Bu ?
39. Pembeli : Saya mau beli minyak goreng curah. Ada ?
40. Pedagang : Oh ada...mau berapa kilo ?
41. Pembeli : Sekilo berapa ?
42. Pedagang : 7 ribu
43. Pembeli : Mahal amat !!!
44. Pedagang : Sekarang barang-barang memang mahal, Bu. Jangankan minyak goreng, jarum pentol aja mahal
45. Pembeli : Gak mungkin! Harga kelapa saja murah, masak harga minyak goreng mahal ? Sekarangkan BBM turun, turun, turun lagi, seharusnya harga sembako turun dong.
46. Pedagang : Bu, kita berdagang ini gak hanya soal produksi dan transportasi, tapi juga retribusi dan sesaji ! Jadi beli gak ?
47. Pembeli : Iya. Kasih 3 kilo.
48. Pedagang : (Mengambil beberapa bungkus minyak goreng dan hendak ditimbang.
Kalau di sini timbangannya pasti pas, Bu. Beda dengan warung lain. Ini, Bu, minyak gorengnya. Pas kan 3 kilo ?
49. Pembeli : Oh ya, pas ! Terima kasih ya, ini uangnya
(Mengambil minyak goreng dan membayar ke pedagang. Kemudian pergi)
50. Pedagang : (tertawa)
51. Pedagang : Kenapa ? Kalian meragukan timbangan saya ? Alah, penipuan dan kejujuran hanya perkara teori. Kita harus memilih teori mana yang lebih efisien. Kalau kita gak begini, mana bisa kaya.
Bagian III
Teknis panggung khusus untuk stage yang tidak menggunakan lampu atau tirai ketika pergantian properti. Ketika berganti adegan politik, semua kru panggung dapat mengambil semua properti yang ada di panggung hingga panggung kosong. Tanpa barang satu pun. Sementara itu, dari arah pintu masuk, datang Caleg dan dua orang pengawal. Caleg menyalami beberapa penonton, sedangkan dua orang pengawal berpakaian rapi dan berkaca mata hitam membagikan brosur ke penonton. Adegan ini berlangsung hingga kru panggung selesai merapikan panggung dari properti !
52. Caleg : Saya yakin kalau saya bisa terpilih dalam Pemilu legislatif tahun ini.
53. Peng. 1 : Kenapa Anda begitu yakin, Pak ? Bukannya tahun ini ada banyak calon legislatif yang jadi saingan Anda ?
54. Caleg : Tentu saya yakin karena saya punya visi dan misi yang jelas !
55. Peng. 1 : Tapi menurut pengamatan saya, semua partai mengusung visi dan misi yang hampir sama. Memangnya partai Bapak ini ada bedanya dengan partai lain ?
56. Caleg : Ya, sama aja sih.
57. Peng. 1 : Lha, ngapain ngikut kalo sama aja ? Gak kreatif dong !
58. Caleg : Eh, yang penting itu tujuannya baik. Semua partai atau organisasi ingin memajukan bangsa. Apa salahnya sama visi misi.
59. Peng. 1 : Ya gak perlu bersaing dong kalau begitu. Berbaur aja jadi satu partai.
60. Caleg : Meski visi dan misi hampir sama, yang beda kan jalannya. Pokoknya kalian promosikan saja saya. Kalian bikin panggung dangdut ! Kalian pasang poster saya besar-besar.
61. Peng. 2 : Tampang kayak Bapak, mana ada yang percaya !
62. Caleg : Husss...
63. Peng. 2 : Lihat saja, rata-rata para caleg ada gelar akademisnya. Lha Bapak hanya tamatan SMA. Mau ngerjain apa tamat SMA ?
64. Caleg : Lo kira SMA gak mutu ? Apa lo bisa jadi sarjana kalo kagak lewat SMA ? Kalau kalian mengira tamatan SMA gak punya kapabilitas, berarti kalian menghina pendidikan dong ! Memangnya bayi lahir langsung masuk universitas !!!
65. Peng. 2 : Ya, tapi kan setidaknya ada sesuatu embel-embel yang bisa membuat nama Bapak jadi hebat gitu. Kita bikin titel boongan aja yuk ! Gak mahal kok...
66. Caleg : Tidak ! Saya tidak mau lewat jalan itu. Saya yakin dengan cara dan aura yang saya miliki, saya bisa memajukan rakyat.
67. Peng. 1 : Memangnya Bapak tahu caranya memajukan rakyat ?
68. Caleg : Berusaha dan jangan lupa berdoa !
69. Peng. 1 : Berusahanya bagaimana ?
70. Caleg : Misalnya dengan mengikuti kebijakan pimpinan partai. Tapi saya tidak akan gentar membantah pada kebijakan pemimpin yang salah.
71. Peng. 1 : Ya, jangan saja Bapak nanti jadi kecut meski presidennya suka keluar negeri, suka jual BUMN, suka tukar ganti parlemen, suka nyulik wartawan dan aktivis.
72. Peng. 2 : Memangnya Bapak yakin gak mau bekerja sama kalau presiden atau atasan Bapak ngasih pembagian hasil penjualan BUMN ?
73. Caleg : Jelas tidak mungkin. Saya maju sebagai caleg untuk bisa mengawasi kerjaan presiden dan membantu rakyat. Bukan untuk 7 D. Duduk, diam, dan dapat duit dari dana dorongan !
74. Peng. 1 : Hebat kalau begitu ! Mudah-mudahan nama Bapak yang gak besar itu bisa terpilih oleh rakyat dan Bapak bisa jadi anggota legislatif.
75. Peng. 2 : Memangnya bisa terpilih, Pak ? Yang punya nama dan relasi besar, punya otak pintar, dan pandai bicara kan banyak, Pak. Bisa-bisa Bapak kalah pamor sama mereka.
76. Caleg : (Khawatir)
Memangnya berdasarkan survey, saya mendapatkan berapa persen suara ?
77. Peng. 1 : Baru kami berdua, Pak !
78. Caleg : Apa ? Ini tidak bisa dibiarkan !!! Sekarang kita ke perusahaan percetakan kertas suara !
79. Peng. 1 : Buat apa ?
80. Caleg : Manipulasi surat suara !!! (Keluar dan diikuti kedua pengawal)
Bagian teatrikal
Di panggung, masuk Rakyat, Guru, Pedagang, dan Caleg secara bergantian dengan arah kedatangan yang berbeda. Semua pemain beraktivitas berdasarkan peran.
Musik
Masuk Putih. Ketika Putih masuk, semua aktivitas mendadak diam. Caleg, Guru, dan Pedagang berhenti di berbagai sudut panggung. Rakyat berbaruing di tengah depan panggung. Putih berjalan mengitari mereka, kemudian berhenti di tengah panggung. Guru, pedagang, dan Caleg kembali berdialog secara bersamaan.
81. Guru : “Kemari kalian !!!”
(Masuk 3 orang murid)
82. Guru : “Apa yang kalian lakukan ? Kalian melanggar peraturan. Sini !!!” (menampar murid satu per satu dengan wajah girang, kemudian pergi).
83. Pedagang : (berbicara lewat hp)
“Gampang sajalah. Selundupkan saja barang itu. Masak petugas bea cukai tak bisa diajak kerja sama ? Kasih saja dia duit. Oke...oke...30 % buat kalian...ha...ha...ha....”
(keluar)
84. Caleg : Bagaimana mungkin saya bisa tidak menang dalam pemilihan ? Ap-a ada yang salah ? Semua sudah saya berikan ke masyarakat. Bantuan, uang, juga senyuman....pasti ada mereka menggelembungkan suara pada caleg lain...pasti...pasti...!
(Masuk seorang pengawal)
85. Pengawal : (membisikkan sesuatu ke caleg)
86. Caleg : Apa !!! Mereka tidak mencontreng saya ?! Monyet ! Pantas saja saya tidak menang. Ember ! Sudah...tarik kembali uang yang sudah kita berika pada mereka. Blokir jalan raya yang mereka gunakan selama ini. Sekalian ambil alat bandnya...
87. Pengawal: Maaf, Bu. Tapi alat bandnya bukan punya kita.
88. Caleg : A...apa ? Ya..ya...ya...sudah...laksanakan tugas!
(keduanya keluar)
Puisi “Sajak Palsu” diperdengarkan dari dalam panggung.
Putih dan Hitam berdiri di tengah-tengah panggung. Secara perlahan datang Hitam. Berjalan merangkak.
Adanya hitam dan putih adalah simbol bagi topeng yang selalu digunakan oleh para petinggi tertentu untuk menutupi keburukan mereka. Putih berdiri paling depan sebagai topeng dengan wajah anggun, angkuh, dan cantik.
Mereka mulai menyengsarakan rakyat yang tak berdaya. Menjerat Rakyat dengan kebijakan dan kekuasaan. Menutup mulut dengan program-program penipuan. Akhirnya Rakyat yang mengalami nasib buruk. Rakyat berjalan timpang.
Putih bergerak. Hitam mendadak berhenti dan segera mengikuti Putih pergi.
Rakyat memberontak dengan berusaha melepaskan tali dan selotip di leher dan mulutnya. Ketika sudah terlepas, ia berdiri dan membersihkan diri seperti orang yang bersiap-siap tampil ke publik. Ia mengeluarkan peci. Peci kumal itu dibersihkan kemudian di pakai. Kemudian dia berdiri di tengah-tengah panggung dan mengeluarkan selembar kertas. Ia memproklamasikan negara yang kedua kalinya dengan membaca puisi “Proklamasi 2”
S E L E S A I
Label: naskah drama
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda