Rabu, 14 Juli 2010

Si Mulut Anonim Superimajinatif (Mengawali Dongeng dan Legenda Dunia)

Cerita rakyat, legenda, mitos, dan sejarah adalah kebudayaan milik semua orang. Setiap orang, suku, daerah, negara, atau ras di dunia memiliki sejarah dan mitos masing-masing, baik itu mengenai tempat maupun kejadian tertentu. Mitos, legenda, cerita rakyat, dan sejarah yang berkaitan dengan mistis dan hal-hal berbau kedewaan sering menarik perhatian kita.
Namun mitos yang berada di balik layar suatu sejarah dapat menjadi sisi negatif atau positif. Misalnya, mitos yang beredar di suatu peristiwa masa lampau membuat tempat atau tokoh tertentu dikeramatkan dan kemudian menjadi penyimpangan perilaku bagi beberapa orang. Namun bisa pula mitos atau cerita rakyat yang berkembang di suatu masyarakat atau tempat tertentu menjadi daya tarik bagi dunia pariwisata, bahkan menjadi fokus utama dibandingkan keindahan atau keistimewaan tempat yang dituju.
Di samping itu, kita semestinya menghargai kehadiran mitos, cerita rakyat, atau legenda masyarakat sebagai kekayaan budaya masyarakat. Masing-masing tempat memiliki cerita unik tersendiri. Wujud budaya seperti ini merupakan sastra lisan yang menjadi akar budaya masyarakat nusantara. Dari sinilah, bermula sastra baru. Dari sinilah bermula tradisi dan perkembangan bagi pola pikir dan paradigma masyarakat.
Beberapa daerah di nusantara memiliki ceritanya masing-masing. Sebagian besar berwujud hikayat atau legenda yang mengambil unsur mistis. Sebagian lainnya lagi menceritakan kisah orang-orang pandir. Cerita yang berkembang saat ini sebagian besar didominasi dengan latar belakang pulau Jawa. Cerita yang disajikan banyak berbau agama Hindu. Mungkin didasari oleh sejarah bahwa kepercayaan yang masuk di Indonesia pada awalnya adalah Hindu.Cerita rakyat lainnya banyak terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi (proto melayu), nusa tenggara dan papua (Austromelasoid).
Beberapa cerita rakyat yang berkembang di Indonesia memiliki kesamaan; seperti Bawang Merah Bawang Putih (proto Melayu, Jawa, dan Malaysia), Ramayana (Jawa, Bali, dan India), Gatotkaca (jawa dan India), atau Cinderella dan Ande-ande Lumut (Eropa dan Jawa). B ahkan kemudian tercetus kesamaan tokoh Hanoman yang merupakan ikon panglima hebat dan sedikit nakal yang ditemui pada kisah epos Ramayana (Wiracarita Ramayana terdiri dari tujuh kitab yang disebut Saptakanda)dan Sun Go Kong. Sebagian masyarakat bahkan mempercayai bahwa sosok Hanoman memang benar-benar nyata. Contoh dongeng lainnya yang memiliki cerita hampir sama adalah Balas Budi Burung Bangau dan Tujuh Bidadari yang menceritakan tentang seorang manusia yang menikah dengan bidadari. Satu cerita mengisahkan tentang balas budi sedangkan kisah lainnya tentang kelicikan manusia untuk menikahi satu dari tujuh bidadari. Tapi cerita keduanya sama-sama mengisahkan tentang pernikahan mereka, termasuk kesamaan akhir cerita yakni perginya bidadari ke tempat asal ketika si manusia melihat (mengintip) kekuatan si bidadari.
Maka bisa saja kita ambil kesimpulan bahwa sebagian cerita di Indonesia mempunyai beberapa kemiripan dengan cerita rakyat yang ada di hampir semua negara di Asia Tenggara dan beberapa negara di wilayah Asia Pasifik dan Polinesia. Maka pertanyaannya kemudian, dari manakah semua ini bermula?
Dibalik semua hal tersebut, masih banyak cerita rakyat, mitos, legenda, epos, dan jenis prosa lama masyarakat Indonesia yang belum kita ketahui. Cerita-cerita seperti Bawang Merah Bawang Putih, Bujang Nadi Dare Nandung, Calon Arang, Legenda Prambanan, Pak saloi, dan lain-lain yang sudah terkenal oleh masyarakat Indonesia saja masih kurang mendapatkan perhatian. Kita hanya bisa menikmati di antara daftar buku yang relatif kurang laris dibandingkan dengan teenlit atau dvd film komedi porno. Kita hanya bisa menikmati di film atau animasi yang kemudian kalah tanding dengan film berefek hebat mengenai alien dan bencana. Jadi bagaimana kita bisa betah dan merasa senang dengan legenda sendiri jika kehadiran cerita rakyat kalah pamor dengan sinetron? Apalagi jika kita membicarakan cerita rakyat yang masih banyak tersebar di wilayah Indonesia dan tentu saja belum kita ketahui.
Menurut penulis, hanya satu atau dua daerah di Indonesia yang mengekspos dan melestarikan dongeng dan legenda mereka sehingga gencar ditayangkan di buku, media, atau pementasan. Sedangkan di daerah lain, seperti Kalimantan Barat, sastra lisan ini seolah-olah tak menarik minat sama sekali. Jika beberapa kalangan berusaha untuk melesatrikannya, maka akan kembali bentrok dengan keleluasaan daerah masing-masing. Ujung-ujungnya “duit” lagi. Di mana ada cukup tinta, maka di situ akan banyak orang sinting yang mau menumpahkan tinta ke kertas. Kita tak cukup wadah, kita terbiasa tak cukup fasilitas, kita juga takut dengan tulah, dan akhirnya kita terbiasa menunggu wadah dan dana datang dengan sendirinya.
Akankah cerita klasik ini hanya milik masyarakat awam yang senang diimingi dengan fantasi? Atau milik masayarakat yang ingin mempertahankan budaya asli daerahnya? Atau oleh calon sarjana sastra? Atau oleh pekerja teater? Atau ibu-ibu yang mendongengkan anaknya meski ia tahu si anak hanya asik dengan kisah menakutkan di balik dongeng tersebut? Tapi kemudiaan pertanyaan yang sangat mengusik adalah siapakah si mulut narator anonim yang superimajinatif ini sehingga membuat cerita-cerita berkembang di masyarakat untuk kemudian mendarah daging?



Di rumah, 19 dan 28 Juni 2010

Label: